“Hal ini merupakan respons terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang didalamnya perusahaan asuransi tidak lagi dapat membatalkan klaim secara sepihak,” demikian Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Iwan Pasila, Kamis 30/01/2025.
Jakarta,moluccastimes.id-Guna menghentikan perusahaan asuransi membatalkan klaim secara sepihak,
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta asosiasi perusahaan asuransi segera melakukan standardisasi polis.
“Hal ini merupakan respons terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang didalamnya perusahaan asuransi tidak lagi dapat membatalkan klaim secara sepihak,” demikian Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Iwan Pasila, Kamis 30/01/2025.
Lanjutnya, pihaknya telah berdiskusi dengan asosiasi industri dan menekankan perlunya standardisasi.
“Ada tiga aspek utama, yaitu polis asuransi, proses underwriting, dan prosedur klaim. Karena itu klausul pembatalan polis diperjelas dan disederhanakan agar pemegang polis memahami hak dan kewajiban mereka.,” timpalnya.
Pasila menegaskan, perusahaan asuransi tidak bisa lagi menggunakan Pasal 251 KUHD sebagai dasar pembatalan polis.
“Oleh sebab itu, klausul pembatalan harus dicantumkan secara jelas dalam Surat Permintaan Asuransi (SPA) dan digabungkan ke dalam polis,” ucapnya.
Diakuinya, praktik penyatuan SPA kedalam polis bersifat umum dalam asuransi jiwa, namu belum seragam di sektor asuransi umum.
“Standardisasi ini juga akan diterapkan pada polis reasuransi, baik dalam negeri maupun luar negeri. Standar
proses underwriting yang berlaku bagi seluruh perusahaan asuransi di Indonesia baik itu Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), dan Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) perlu memastikan adanya standardisasi underwriting,” jelasnya.
Selain itu, OJK meminta perusahaan asuransi menyusun standar komunikasi terkait penyampaian hasil underwriting kepada nasabah. Contohnya, jika seorang calon pemegang polis memerlukan pemeriksaan kesehatan tambahan, informasi tersebut harus disampaikan dengan jelas.
Dalam aspek klaim, OJK menegaskan bahwa jika tidak ada pemeriksaan kesehatan di awal, maka perusahaan asuransi tidak boleh menambahkan persyaratan kesehatan saat pengajuan klaim.
“Standardisasi underwriting juga mencakup keseragaman dalam proses komunikasi hasil underwriting, sehingga perusahaan asuransi di Indonesia memiliki sistem yang lebih adil bagi pemegang polis,” tambah Iwan.
Menurutnya, putusan MK terkait Pasal 251 KUHD merupakan momentum bagi industri asuransi untuk meningkatkan kepercayaan publik.
“Standardisasi ini diharapkan dapat memperbaiki citra industri asuransi dan meningkatkan perlindungan bagi masyarakat,” pungkasnya. (MT-01)